top of page
Muhammad Rayyan

Kenaikan PPN 12% : Bermanfaat untuk Siapa?

“Should five percent appear too small Be thankful I don't take it all 'Cause I'm the taxman” - The Beatles

Pada Kamis, 5 Desember 2024, sore hari di kantor Presiden, para wartawan terlihat menunggu agar acara dimulai. Konferensi pers yang akan diadakan, membahas kepastian tentang isu yang ramai, yaitu kenaikan PPN. Tidak lama kemudian, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad beserta pejabat lain masuk ke ruangan konferensi pers. Mereka datang dan menyatakan bahwa kebijakan PPN akan tetap naik, tetapi tarif 12% hanya berlaku kepada barang tertentu atau mahal. Barang lain yang tidak dikategorikan sebelumnya, tetap dikenakan tarif 11%.  


Kepastian tentang PPN sudah ditetapkan, tetapi kenaikan ini menimbulkan pertanyaan. Sebenarnya, kenaikan PPN ini bermanfaat untuk siapa? Apakah untuk sarana proteksi sosial masyarakat dalam bentuk stimulus atau bantuan sosial? Ataukah hanya menjadi mesin uang baru bagi mereka, tikus-tikus berdasi?


Mengapa terjadi? 

Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai atau  PPN dari 11% menjadi 12% bukanlah isu baru. Sejak Agustus 2024, rencana ini sudah dihembuskan kepada masyarakat melalui media-media berita. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, dalam rapat bersama DPR, menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 lebih sehat. Mengutip dari media Direktorat Jenderal Perbendaharaan, kinerja APBN tahun depan menghadapi tantangan yang berat, Pemerintah memiliki rencana defisit sebesar 2,53% dari produk domestik bruto atau PDB. Selain itu, pemerintah juga berargumen bahwa PPN senilai Rp100 triliun yang selama ini digratiskan justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat kaya, sehingga pengenaan pajak ini diharapkan lebih adil dan pendapatannya diharapkan dapat digunakan untuk pemerataan kekayaan 


Pajak telah lama menjadi instrumen penting dalam pemerataan kekayaan, sebagaimana diungkapkan oleh John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and Money (Sangkuhl, 2015). Seiring waktu, berbagai jenis pajak dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara, salah satunya adalah pajak pertambahan nilai (PPN) atau value-added tax (VAT). Pajak ini pertama  kali diterapkan di Perancis pada tahun 1968, seperti yang tercatat dalam laporan OECD tahun 2022. Di Indonesia, PPN mulai diterapkan pada tahun 1985 sebagai upaya memperkuat sistem perpajakan nasional. Langkah ini mencerminkan perubahan kebijakan fiskal yang terus beradaptasi untuk menjawab kebutuhan pembangunan dan pemerataan ekonomi. 


Bagaimana PPN di Indonesia dan Negara lain sebagai pembanding 

Keputusan pemerintah untuk mengundurkan PPN, alih-alih membatalkannya, menimbulkan sebuah pertanyaan. Mengapa kenaikan ini harus tetap dilakukan? Dilansir dari situs milik Dirjen Perbendaharaan Republik Indonesia, Indonesia menerima realisasi pendapatan sebesar Rp2.774,3 triliun pada tahun 2023. Sebesar 77% pendapatan negara atau Rp1.869,23 triliun berasal dari penerimaan pajak. Jika dilihat lebih rinci lagi, penerimaan pajak dari PPN dan PPnBm memberikan kontribusi sebanyak Rp 764,3 triliun atau sebesar 26% dari total pendapatan. Melihat angka statistik tersebut, tidak heran pemerintah memutuskan untuk menaikkan PPN karena pajak tersebut menjadi salah satu penyumbang besar. 


Selain menjadi salah satu penyumbang besar dalam penerimaan pendapatan. Kenaikan PPN dilakukan karena banyaknya sektor informal seperti UMKM. Dalam laporan yang dirilis oleh LPEM, salah satu alasan penerimaan pajak Indonesia rendah adalah usaha mikro, kecil, dan menengah masih menjadi mesin penggerak perekonomian Indonesia dengan menyumbangkan lebih dari 60% PDB. Faktor ini membuat PPN perlu dinaikkan karena seringkali sektor informal tidak dijangkau oleh struktur pajak sekarang (Rezki et al., 2024). Sifat PPN yang didasari oleh konsumsi, membuat pemerintah lebih gampang untuk memperluas basis pajak dan mencari dana. 


Dengan melihat keputusan pemerintah saat ini, memberlakukan kenaikan PPN untuk barang mewah saja sudah melegakan, tetapi ada masalah lain yang harus dikaji kembali oleh pemerintah, seperti mempertimbangkan apakah kenaikan PPN itu efektif atau tidak? Kemudian, pemerintah harus merinci. Barang apa yang dikategorikan mewah dan apa dampak kenaikan PPN 12% terhadap batas minimum PPnBm? Hal ini harus dikaji dan dijelaskan oleh pemerintah.


Awalnya, pemerintah berharap kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun, dalam situasi saat ini, kebijakan ini berisiko memberikan lebih banyak beban daripada manfaat. Kelas menengah, yang menjadi konsumen utama dan penggerak ekonomi Indonesia, sedang mengalami tekanan akibat penurunan daya beli. Sebuah studi yang dilakukan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 8,5 juta jiwa yang turun dari kelas menengah. Dari studi tersebut juga ditemukan, porsi populasi rentan meningkat dan kelas menengah menyusut. Hal ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat semakin berkurang (Rezki et al., 2024).

 

Disisi lain, situasi perekonomian nasional juga berada dalam kondisi yang lesu. Hal ini didukung dengan selama tahun 2024, Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan beruntun (Tim CNN Indonesia). Pengenaan pajak yang lebih tinggi dalam situasi ekonomi yang lemah berpotensi menjadi kontraproduktif terhadap tujuan awal kebijakan ini. 

  

Situasi kontraproduktif ini sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh ekonom Amerika Serikat, yaitu Arthur Laffer yang memperkenalkan konsep Kurva Laffer. Kurva ini menggambarkan hubungan antara tingkat pajak dan penerimaan pajak pemerintah. Teori tersebut menjelaskan bahwa dari tingkat pajak nol seperti yang ada di grafik 1 hingga ke titik tertentu, setiap kenaikan tarif pajak akan memberikan pendapatan lebih untuk negara. Namun, pada titik tertentu atau T3, ketika tingkat pajak menjadi cukup tinggi, peningkatan lebih lanjut dalam tingkat pajak justru akan menurunkan penerimaan pajak (Britannica, 2024). Implikasi dari Kurva Laffer adalah tidak semua kenaikan pajak bisa meningkatkan penerimaan negara. Dalam situasi Indonesia, apabila pemerintah tetap bersikeras untuk menaikkan PPN disaat daya beli lemah, penerimaan pajak berpotensi stagnan atau malah berkurang. Hal ini karena pembeli merasa tidak ada insentif untuk mengonsumsi barang.


Grafik 1. Kurva Laffer

Sumber : tutor2net (2023)


Selain kebijakan pajak itu sendiri, pengelolaan pajak oleh pemerintah juga menjadi persoalan penting. Salah satu masalah yang terus menggerogoti bumi pertiwi sejak kemerdekaan hingga sekarang adalah budaya korupsi. Bukti bahwa penyakit ini masih menggerogoti negeri dapat dilihat dari skor Corruption Perceptions Index (CPI). Berdasarkan data Transparency International, Indonesia memiliki skor sebesar 34 pada indeks ini. Skor tersebut jauh dari angka sempurna, yaitu 100. Skor 100 mencerminkan negara bebas korupsi. Hasil skor Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam membersihkan institusi dari praktik korupsi.


Jika dibandingkan dengan negara tetangga, skor Indonesia tergolong rendah. Malaysia, misalnya, memperoleh skor 50, sementara Timor Leste, negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, mendapatkan skor 43. Skor 34 ini mencerminkan bahwa institusi di Indonesia masih diwarnai oleh praktik korupsi, ketidakjelasan aturan bisnis, dan pengelolaan anggaran yang tidak efisien. Hal ini menegaskan perlunya reformasi yang lebih serius dan komprehensif dalam tata kelola pemerintahan dan pengelolaan pajak untuk menciptakan institusi yang bersih dan efisien.


Penekanan isu institusi dalam mengelola pendapatan negara merupakan isu sangat penting. Apabila institusi tersebut korup dan tidak efisien, proses distribusi kekayaan akan terganggu dan membuat jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Institusi ekonomi tidak hanya menentukan potensi pertumbuhan ekonomi agregat suatu perekonomian dan ukuran "kue" ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga bagaimana "kue" tersebut dibagi di antara berbagai kelompok dan individu dalam masyarakat (Acemoglu, 2004). Kenaikan pajak untuk menaikkan pendapatan menjadi hal yang sia-sia, jika institusi dalam hal ini pemerintah, tidak bisa mengelolanya dengan baik. Salah satu contoh bagaimana perbedaan hasil dari pemerintahan yang baik dan buruk adalah Korea Utara dan Korea Selatan. 


Grafik 2. Pertumbuhan PDB per Kapita Korea Utara dan Korea Selatan 

Sumber : BBC.com (2017)


Saat dua Korea ini memutuskan untuk memisahkan diri. Sumber daya alam yang ada, kondisi geografis, dan sumber daya manusia yang ada, keduanya memiliki jumlah dan kualitas yang sama. Ibarat dalam berlari, keduanya memiliki posisi start yang sama. Bahkan, Korea Utara memiliki keunggulan dalam industrialisasi karena pada masa penjajahan Jepang, industrialisasi difokuskan di utara daripada di selatan (Acemoglu, 2004). Namun, singkat cerita, pada tahun 1970-an, Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan Korea Utara mengalami stagnasi dalam pertumbuhan ekonominya. 


Kegagalan Korea Utara untuk naik level disebabkan oleh pejabatnya yang masih berpegang teguh dengan keyakinan komunisme. Setelah terbukti gagal pun, kebijakan berbasis komunisme tetap dilaksanakan. Hal ini didorong karena banyak elit pemerintah di Korea Utara yang ingin mempertahankan status quo (Acemoglu et al., 2004). Institusi yang sudah diketahui korup, tetapi masih dijalani harus diwaspadai. Hal ini karena pejabatnya tidak ingin pemerataan kekayaan dan kekayaannya hanya ingin diberi ke sesama elit. Jika membandingkan skor corruption perception index atau CPI Korea Selatan dan Indonesia, hasilnya akan terlihat jomplang. Korea selatan memiliki skor sebesar 64, sedangkan Indonesia 34. Dengan kondisi tersebut, komitmen rakyat untuk membayar pajak menjadi rendah karena ketidakpercayaan mereka terhadap institusi yang mengelola uang mereka.

  

Jalan Tengah

Dengan segala kontroversi dan masalah yang ada, Indonesia tetap memerlukan pajak untuk mendistribusikan kekayaan dan menjalankan APBN. Namun, dengan situasi yang sekarang Indonesia hadapi, kebijakan yang dibuat hanya akan memberikan beban tambahan untuk masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Kelas atas memang merasakan keuntungan dari PPN yang digratiskan, tetapi dalam situasi sekarang, seharusnya ada cara lain yang bisa diambil untuk memungut pajak dari mereka. 


Data dari OECD yang ditunjukkan grafik 3,  menunjukkan Indonesia memiliki tax to GDP ratio yang rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 12.1%. Bahkan, menurut LPEM, tax to gdp ratio Indonesia pada tahun 2023 hanya 10.31% . Untuk itu, rasio ini harus ditingkatkan. Menaikkan tax to GDP ratio tidak harus menaikkan tax rate seperti PPN. Salah satu cara lain untuk menaikkan rasio tersebut adalah dengan tax administration. Metode ini lebih berfokus dengan efisiensi mengumpulkan pajak daripada menaikkan tingkat pajak. Hasil dari implementasi tax administration yang efisien, Salah satunya meningkatkan intensitas administrasi pajak dengan memindahkan perusahaan-perusahaan teratas di setiap wilayah ke Kantor Pelayanan Pajak Menengah, yang memiliki struktur dan prosedur serupa tetapi rasio staf terhadap wajib pajak yang jauh lebih tinggi, ternyata berhasil menaikkan penerimaan pajak lebih dari dua kali lipat (Basri et al., 2021). 


Grafik 3. Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB tahun 2022

Sumber : OECD (2022)


Selain penerimaan pajak harus efisien, pemerintah juga harus mengevaluasi struktur pajak yang sudah dijalani sekarang, apakah efektif atau tidak? Melansir dari laporan OECD yang membahas tax di Indonesia, ditemukan penerimaan pajak Indonesia mayoritas berasal dari PPN dan PPh. Jika dibandingkan dengan negara-negara OECD, mayoritas penerimaan pajak mereka dari social contribution dan Income tax. Di Indonesia, salah satu bentuk social contribution adalah BPJS. Dari laporan yang sama, ditemukan tarif pajak ini hanya memberikan pendapatan sebesar 4%, sedangkan negara-negara OECD tarif ini bisa memberikan kontribusi sebesar 26% dari total pendapatan pajak. Dari sini terlihat Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan social contribution-nya. Tentu  yang harus diperhatikan juga, dengan banyaknya orang turun kelas dan banyak pekerja yang di sektor informal, opsi mengembangkan social contribution bisa menjadi berat karena akan menggerus pendapatan mereka. Langkah yang diambil pemerintah seharusnya dapat memberikan stimulus kepada perekonomian dan juga meningkatkan kepercayaan kepada institusinya. Melalui bantuan-bantuan yang tepat dan juga peningkatan transparansi, kenaikan pajak dapat diterima dengan lebih baik oleh masyarakat

 

Pernyataan yang dilontarkan dalam konferensi pers tentang kenaikan PPN seharusnya bisa menenangkan. Namun, jika pemerintah tidak jeli dalam memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat rentan dan senantiasa tidak memperbaiki cara pengelolaannya. Kenaikan pajak berapapun tidak akan memberi manfaat yang berarti karena dana tersebut sudah terlebih dahulu disalahgunakan karena salah pengelolaan dari institusi. Buruk sangka memang tidak baik, tetapi dengan bukti yang ada, apakah kenaikan ini bermanfaat untuk masyarakat? Atau hanya akan menjadi sumber penerimaan bagi elit birokrat? 


Referensi

110 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários

Avaliado com 0 de 5 estrelas.
Ainda sem avaliações

Adicione uma avaliação
bottom of page