top of page
Jocelyn Emmanuella Mok

Harga dari Aborsi: Sebuah Perspektif Ekonomi


Teriakan "all lives matter" atau "my body, my choice" telah bergema di jalan-jalan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan kecemasan, ketidaksetujuan, ataupun dukungan terhadap pembatasan aborsi. Polemik ini mengundang pandangan dari berbagai disiplin ilmu, baik eksakta maupun sosial. Ilmu ekonomi, dengan asumsi dasarnya bahwa setiap keputusan melibatkan trade-off, tidak luput dari percakapan terkait aborsi. Apa yang dianggap sebagai opportunity cost dalam sebuah keputusan aborsi? Bagaimana ekonomi mencoba menenun benang kompleksitas dari isu yang begitu manusiawi ini?


Supreme Court’s 1973 Roe v. Wade

Roe v. Wade adalah keputusan Mahkamah Agung AS pada tahun 1973 yang menentukan hak aborsi di negara Paman Sam. Dalam kasus ini, Jane Roe, seorang wanita hamil lajang, menggugat undang-undang Texas yang hanya mengizinkan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Roe berpendapat bahwa hukum tersebut melanggar hak privasi yang dilindungi oleh Konstitusi AS. Mahkamah Agung memutuskan bahwa hak privasi memang melindungi hak seseorang untuk memilih aborsi, tetapi hak ini tidak mutlak dan harus diimbangi dengan kepentingan negara dalam melindungi kesehatan dan kehidupan prenatal. Keputusan ini membagi kehamilan menjadi tiga trimester: pada trimester pertama, negara tidak boleh mengatur aborsi selain memastikan prosedur dilakukan dengan aman; pada trimester kedua, negara boleh mengatur aborsi jika terkait kesehatan ibu; dan pada trimester ketiga, negara dapat melarang aborsi kecuali jika diperlukan untuk menyelamatkan nyawa atau kesehatan ibu.


Seiring waktu, terdapat beberapa kasus yang terjadi dan berupaya untuk melakukan revisi terhadap keputusan Roe v. Wade. Puncaknya terdapat pada kasus “Dobbs v. Jackson Women's Health” pada 2022 yang secara eksplisit meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan Roe v. Wade. Pada bulan Juni 2022, Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan Roe v. Wade, yang kemudian memperketat akses terhadap aborsi di beberapa negara bagian. Setelah keputusan Roe v. Wade, aborsi tetap menjadi topik kontroversial dalam politik Amerika Serikat, para ekonom pun dengan keyakinan “rasionalnya” turut menyumbangkan pemikiran.


Beberapa ekonom berpendapat bahwa aborsi yang tidak dibatasi praktiknya dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi perempuan, bahkan masyarakat secara umum. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan bahwa pembatasan akses terhadap aborsi "akan sangat merugikan ekonomi" karena berdampak negatif pada posisi perempuan di pasar tenaga kerja dan meningkatkan risiko mereka jatuh miskin. Dalam amicus brief yang diajukan oleh 154 ekonom, terdapat kesimpulan bahwa legalisasi aborsi dapat meningkatkan upah, pencapaian pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan tingkat pernikahan wanita. Studi-studi ini umumnya menemukan bahwa peningkatan akses aborsi mengurangi jumlah kelahiran bayi, serta meningkatkan pencapaian pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan upah wanita.


Grafik 1. Status Aborsi di Negara Bagian dan Tingkat Upah

Sumber: Economic Policy Institute (2022)


Danielle Sandler dan Nichole Szembrot memperkirakan bahwa ketika seorang perempuan menjadi ibu, pendapatan mereka akan turun sekitar $26.000 selama enam tahun setelah memiliki anak pertama. Jika setiap aborsi mencegah penurunan pendapatan seorang ibu, semua aborsi yang terjadi pada tahun 2019 di AS (sebanyak ±630.000 jiwa) dapat meningkatkan pendapatan ibu sebesar $16,2 miliar dalam enam tahun tersebut. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa terdapat dampak dari kelahiran bayi terhadap hasil ekonomi seorang ibu. Hal ini diklaim sebagai indikasi bahwa pembatasan aborsi mendorong wanita untuk memiliki bayi yang memberikan "motherhood penalty" terhadap penghasilan mereka. 


Ekonom dari Harvard University, Claudia Goldin, dianugerahi Nobel Ekonomi atas penelitiannya tentang perbedaan upah gender di pasar tenaga kerja. Goldin mengungkap bahwa gender wage gap bukan hanya disebabkan oleh diskriminasi, tetapi juga oleh kebutuhan perempuan akan Temporal Flexibility, yang merupakan kemampuan seorang pekerja untuk menyesuaikan jadwal kerja berdasarkan keinginan mereka. Faktor ini menjadi penting karena perempuan sering kali harus menyeimbangkan pekerjaan dengan tanggung jawab rumah tangga, terutama saat memiliki anak. Seperti yang terlihat di dalam grafik 2, Goldin menemukan bahwa ketika perempuan memasuki usia 30-an, rata-rata usia untuk berkeluarga, kebutuhan akan fleksibilitas ini meningkat, yang memengaruhi pilihan pekerjaan mereka. Perempuan dengan anak bekerja 24% lebih sedikit dibandingkan pria dan perempuan tanpa anak, yang kemudian berkontribusi pada kesenjangan pendapatan. Goldin mengambil kesimpulan bahwa penyebab utama dalam perubahan labor supply perempuan dalam pasar ketenagakerjaan adalah kehadiran bayi. Selain itu, Goldin memperkenalkan konsep Greedy Works—pekerjaan dengan jam kerja panjang dan kurang fleksibel yang biasanya diisi oleh pria, di lain sisi perempuan lebih memilih lingkungan kerja yang memungkinkan fleksibilitas, sehingga hal ini tentunya menciptakan perbedaan pendapatan antar gender.


Grafik 2. Pendapatan Relatif dari Pria dan Wanita Berdasarkan Usia

Sumber: Goldin (2014)


Lantas, apakah “biaya” menjadi seorang ibu dapat dikompensasikan dengan adanya aborsi?


Harga dari Bayi yang Tidak Lahir

Penelitian dari JEC Republicans menyatakan bahwa studi cost-benefit dari adanya aborsi yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya gagal dalam mempertimbangkan biaya yang jauh lebih besar, yaitu adanya peningkatan risiko kematian bayi yang belum lahir. Dengan menggunakan pendekatan Value of Statistical Life (VSL), para ekonom mengestimasi akumulasi biaya yang harus ditanggung dari adanya peningkatan risiko kematian bayi yang belum lahir. Mereka memperkirakan bahwa pada tahun 2019 saja, biaya ekonomi dari aborsi terhadap bayi yang belum lahir mencapai $6,9 triliun, yang mewakili 32% dari PDB tahun tersebut. Ini merupakan underestimate total biaya aborsi karena tidak memasukkan aborsi ilegal dan yang tidak dilaporkan, termasuk semua aborsi yang dilakukan di negara bagian California, Maryland, dan New Hampshire. Opportunity cost sebesar $6,9 triliun dari akibat aborsi terhadap bayi yang belum lahir jauh melebihi manfaat supply pasar tenaga kerja yang disampaikan pada poin sebelumnya. Biaya akibat peningkatan risiko mortalitas pada bayi yang belum lahir akibat aborsi adalah 425 kali lebih besar. Meskipun ada biaya dan manfaat lain dari kehamilan dan pengasuhan anak, biaya ekonomi aborsi terhadap bayi yang belum lahir yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian akibat aborsi memiliki dampak yang signifikan.


Berkenaan dengan pasar tenaga kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mungkin meningkat dalam jangka pendek karena para ibu memilih untuk bekerja daripada mengambil cuti untuk membesarkan anak. Namun, aborsi memiliki  kemungkinan untuk mengurangi pasokan tenaga kerja dalam jangka panjang. Sejak Roe v. Wade pada tahun 1973, diperkirakan telah terjadi 63 juta aborsi di Amerika Serikat. Jika semua bayi yang digugurkan ini seharusnya dilahirkan dan bertahan hidup hingga saat ini, mereka akan menambah hampir 20 persen dari populasi AS saat ini, dan hampir 45 juta di antaranya akan berada dalam usia kerja (18 hingga 64 tahun). Peningkatan akses terhadap aborsi secara signifikan mengurangi jumlah total bayi yang lahir. Dengan demikian, aborsi telah mengurangi populasi AS, dan dengan melakukan itu, telah memperkecil angkatan kerja, sehingga berpotensi menekan total output ekonomi.


John Fernald dan Huiyu Li dari Federal Reserve Bank of San Francisco menyatakan bahwa pertumbuhan output ekonomi diperkirakan akan berlangsung lambat, sekitar 1,5 persen per tahun dalam jangka panjang, yang sebagian besar disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan populasi akibat rendahnya tingkat kesuburan. Pada tahun 2021, tingkat fertilitas total di AS tercatat sebesar 1,7 kelahiran per wanita, jauh di bawah Total Fertility Rate (TFR) yang ideal, yaitu 2,1 kelahiran per wanita. Penurunan kesuburan yang disebabkan oleh aborsi juga berpengaruh pada kemampuan masyarakat dalam merawat warga yang lebih tua. Pada tahun 2020, warga berusia 65 tahun ke atas mencapai 16,3 persen dari total populasi AS, angka tertinggi yang pernah ada, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 20,4 persen pada tahun 2040. Perubahan demografis ini akan menyulitkan generasi muda mereka yang jumlahnya semakin sedikit untuk merawat orang tua mereka yang lanjut usia. Selain itu, hal ini juga akan memberikan tekanan lebih pada Jaminan Sosial.


Aborsi = Kegagalan Pasar

Perkataan “there is a market for everything” mungkin membuat kita bertanya, “does it include abortion?” Jika iya, maka aborsi merupakan bentuk dari kegagalan pasar (market failure). Hal ini disebabkan salah satu pihak yang berkepentingan, yaitu janin yang sedang dikandung tidak berada di dalam kondisi untuk terlibat dalam “transaksi” yang setara. Jika janin tersebut bertumbuh menjadi manusia dewasa, mungkin dia akan memberikan nilai yang lebih tinggi (bargaining abilities). Asumsikan janin memiliki akses kepada aset potensial yang bisa diperolehnya sebagai manusia dewasa, dan memiliki kemampuan negosiasi, maka mungkin ia akan mampu “membayar” orang tuanya cukup banyak untuk meyakinkan mereka agar tidak melakukan aborsi. Dalam situasi ini, membiarkan aborsi terjadi dianggap tidak efisien secara ekonomi. Sebut saja beberapa nama seperti Steve Jobs, Cristiano Ronaldo, dan Celine Dion yang pernah berada pada ujung tanduk aborsi. Opportunity cost yang dihasilkan apabila mereka tidak dilahirkan mungkin akan sangat besar. Hambatan pasar secara temporal dapat mencegah tercapainya solusi yang efisien secara ekonomi dalam jangka panjang. 


Daniel Farber (1986) mengusulkan di dalam artikelnya bahwa solusi daripada inefisiensi pasar ini bukan pada legalisasi atau pelarangan aborsi, melainkan membuat “pasar” untuk aborsi,  di mana janin dapat diwakilkan dan bargaining powernya adalah pendapatan masa depan dari janin tersebut. Jika pihak orang tua “memenangkan” penawaran, maka mereka dapat melakukan aborsi dengan membayarkan tawaran mereka kepada “Bank Janin.” Dana dari bank ini dapat digunakan untuk peminjaman kepada janin, redistribusi, bahkan investasi dalam industri embrio. Janin juga dapat wakilkan oleh penawar dari pihak-pihak pro-life untuk dapat diadopsi. Namun, sejatinya hal tersebut bukanlah solusi melainkan manifestasi dari moral hazard dan asymmetric information. Terdapat potensi bagi orang-orang tua untuk melakukan aborsi hanya demi mendapatkan penawaran yang lebih tinggi dari janin, sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan masa depan dari janin tersebut. 


Dalam teori Repugnant Market, terdapat pencegahan bagi beberapa aktivitas untuk berada di dalam pasar karena isu moral. Repugnance diasosiasikan dengan perlawanan terhadap beberapa pasar yang “tidak ber-dignitas, tidak adil, tidak pantas, atau tidak professional” (Roth, 2007). Repugnant Market diamati dalam berbagai kegiatan, termasuk di dalamnya aborsi, prostitusi dan jual-beli organ. Terdapat trade-off yang tidak wajar di dalamnya karena kita tidak dapat membandingkan hal-hal sekuler, seperti uang, waktu, dan kenyamanan dengan hal-hal yang lebih abadi dan transenden seperti cinta kasih, kehormatan, keadilan, kebijaksanaan, dan yang lainnya. 


Penutup

Aborsi pada naturnya merupakan persoalan kemanusiaan dan moral daripada permasalahan ekonomi. Analisis ekonomi dengan berbagai kompleksitasnya menunjukan biaya-biaya eksplisit maupun implisit yang timbul dari adanya aborsi. Di antara angka-angka statistik yang dingin, terdapat kehidupan yang tidak dapat diukur nilainya. Namun, satu hal yang pasti adalah di dalam setiap keputusan yang dapat diambil manusia, terdapat harga yang harus dibayar. Seperti perkataan Milton Friedman, “There’s no such thing as free lunch.”


Jocelyn Emmanuella Mok | Ilmu Ekonomi 2023 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2024


Referensi




92 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page