Cashless Payment: Cepat, Praktis, Tetapi Apa Kabar dengan Isi Dompet??
- KANOPI FEB UI
- Apr 17
- 9 min read

Judul Artikel : Paying in a blink of an eye: it hurts less, but you spend more
Penulis : Marie-Claire Broekhoff, Carin van der Cruijsen
Tahun Terbit : 2024
Jurnal : Journal of Economic Behavior & Organization
Diulas oleh Nabilah Claranisa
Pembayaran dalam Sekejap Mata
Setelah Pandemi COVID-19 melanda dan membatasi berbagai aktivitas fisik, contactless payment menjadi tren di kalangan masyarakat. Tren transaksi nontunai kini sudah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Dengan hanya menempelkan kartu atau ponsel, pembayaran terselesaikan dalam hitungan detik, membuat contactless payment terasa praktis dan konon efisien. Dalam studi Payment Attitudes of Consumers di Euro, hanya 19% responden yang menganggap uang tunai lebih cepat dalam transaksi, sedangkan 40% memilih kartu atau contactless (ECB, 2022).
Namun, di balik kemudahan ini, muncul pertanyaan penting: adakah dampak psikologis yang perlu diwaspadai?
Rasa Sakit yang Tidak Terlihat: The Pain of Paying
Di tengah euforia kemajuan teknologi keuangan, terdapat konsep psikologis yang krusial yaitu rasa sakit saat membayar (pain of paying). Berbeda dengan pandangan ekonomi klasik bahwa konsumen adalah makhluk rasional, pain of paying memandang bahwa keputusan finansial seseorang tidak luput dari kondisi emosionalnya. Pain of paying merujuk pada emosi negatif yang muncul saat seseorang membayar barang atau jasa (Zellermayer, 1996; Prelec & Loewenstein, 1998). Reshadi dan Fitzgerald (2023) mengatakan bahwa rasa sakit saat membayar tidak hanya dirasakan ketika uang benar-benar keluar dari tangan (immediate pain), tetapi juga ketika seseorang membayangkan bahwa dirinya akan kehilangan uang baik sekarang maupun nanti (anticipated pain).
Alasan yang mendasari konsumen mengalami rasa sakit ketika membayar telah dijelaskan oleh literatur terdahulu dengan 2 pendekatan utama. Pertama, teori Mental Accounting (Thaler, 1980). yang menganggap konsumen melacak pengeluaran dalam "akun mental" dan menilai apakah manfaat dari pengeluaran itu sebanding. Jika dalam akhir periode penghitungan akun mental itu negatif, maka konsumen akan mengalami pain of paying (Prelec & Loewenstein, 1998). Kedua, terkait nilai uang (Reshadi and Fitzgerald, 2023). Uang dilihat sebagai simbol keamanan dan perlindungan (Zhou & Gao, 2008). Dikarenakan uang bersifat terbatas bagi kebanyakan orang, maka setiap kali uang dibelanjakan, sumber keamanan itu ikut menyusut dan di situlah rasa sakit psikologis muncul (Pomerance et al., 2018; Xu et al., 2015).
Rasa Sakit yang Justru Melindungi
Meskipun rasa sakit dalam membayar terdengar memiliki makna yang negatif, penelitian justru menunjukkan bahwa rasa sakit tersebut dapat menjadi pelindung dari perilaku konsumtif. Konsekuensi penting dari anticipated pain dalam pembayaran adalah penurunan pengeluaran (Reshadi dan Fitzgerald, 2023). Semakin tinggi pain of paying yang dirasakan akan mengarah pada penurunan kemauan untuk membeli dan membayar (Thunstorm et al., 2018). Pain of paying juga membantu konsumen menghindari overspending (Choe & Kan, 2021).
Selain itu, metode pembayaran juga berperan penting dalam menentukan tingkat pain of paying. Studi menunjukkan bahwa rasa sakit saat membayar berkorelasi positif dengan tingkat transparansi metode pembayaran yang didefinisikan sebagai sejauh mana transaksi tampak dan terasa secara fisik (Raghubir & Srivastava, 2008; Soman, 2001; Thomas et al., 2011). Pada pembayaran tunai, konsumen benar-benar melihat dan merasakan uang berpindah tangan (menghitung, menyerahkan, hingga menerima kembaliannya) sehingga rasa kehilangan terasa lebih nyata. Sebaliknya, pada contactless dan mobile payment yang menawarkan kemudahan justru dapat mendorong konsumen lebih mudah mengeluarkan uang (Boden et al., 2020). Namun kabar baiknya, untuk menahan efek konsumtif ini, literasi keuangan terbukti ampuh. Ahn dan Nam (2022) menemukan bahwa pengetahuan finansial dapat meredam kecenderungan boros yang dipicu oleh kemudahan transaksi digital.
Lantas, Apa yang Ingin Diteliti?
Dalam studi ini, peneliti ingin memperoleh pemahaman mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan rasa sakit dalam membayar dan memperluas pengetahuan terkait konsekuensinya. Secara lebih jelas, terdapat 3 fokus utama:
Menelusuri rasa sakit membayar pada berbagai alat pembayaran
Mengeksplor pengaruh faktor demografis (umur, dan sebagainya) dan karakteristik individual pada rasa sakit dalam membayar
Melihat konteks dalam perilaku pengeluaran dengan membandingkan rasa sakit saat membayar kebutuhan pokok dengan pengeluaran untuk kesenangan (outing)
Data dan Pengumpulannya
Penelitian ini menggunakan data survei konsumen di Belanda, negara dengan sistem pembayaran yang cepat, efisien, dan mayoritas non tunai. Pada 2021, 68% transaksi di titik penjualan dilakukan secara contactless (DNB & DPA, 2022). Dalam belanja daring, iDEAL (sistem pembayaran online di Belanda) lebih dipilih ketimbang kartu kredit karena praktis dan langsung terhubung ke rekening bank.
Survei dirancang untuk mengukur tiga hal: (1) preferensi dan perilaku pembayaran, (2) pain of paying, dan (3) pengaruh metode pembayaran terhadap perilaku konsumsi. Data dikumpulkan melalui Centerpanel, sebuah panel daring yang dikelola oleh Centerdata, terafiliasi oleh Universitas Tilburg dan merepresentasikan populasi di Belanda berusia 16 tahun ke atas. Survei dibagikan kepada 3.241 anggota panel dan 2.497 responden (77%) menyelesaikan survei secara penuh.
Untuk mengurangi bias digital karena peserta survei daring cenderung terbiasa dengan teknologi dan metode pembayaran digital, Centerdata menyediakan perangkat dan bantuan teknis bagi responden tanpa akses memadai. Langkah ini penting untuk menjaga representativitas survei dan memastikan pengukuran pain of paying yang setara, terutama karena responden dengan literasi digital rendah cenderung mengandalkan uang tunai (van der Cruijsen & Reijerink, 2023). Survei ini juga diperkaya dengan data demografis seperti usia, jenis kelamin, dan pendapatan dari DNB Household Survey.
Desain Survei
Survei terdiri dari tiga bagian utama: preferensi dan perilaku pembayaran, rasa sakit saat membayar, dan kebiasaan belanja. Fokus utamanya ada di bagian kedua, yaitu bagaimana rasa sakit itu muncul dalam berbagai skenario pembayaran. Rasa sakit ini diukur melalui 12 skenario berbeda (Tabel 1). Responden diminta memberi skor antara 1 (tidak sakit sama sekali) hingga 7 (sangat menyakitkan) setiap kali mereka dibayangkan harus membayar dalam kondisi POS (belanja langsung) atau daring. Kondisi tersebut juga berkaitan dengan tipe pengeluaran yakni untuk belanja kebutuhan pokok di supermarket atau pengeluaran untuk kesenangan (outing).
Tabel 1. Skenario dalam Survei Rasa Sakit dalam Pembayaran

Masing-masing konteks dikombinasikan dengan berbagai metode pembayaran, mulai dari tunai, kartu debit (baik yang digesek maupun contactless), pembayaran via ponsel, iDEAL, hingga kartu kredit. Jumlah uang yang harus dibayarkan ditampilkan secara acak kepada responden, berkisar antara €5 sampai €500, dengan angka bulat. Tipe pertanyaan dalam surveinya yaitu:
Tabel 2. Pertanyaan Survei Rasa Sakit dalam Pembayaran


Pendekatan Empiris
Untuk memahami pengaruh pain of paying, peneliti menggunakan pendekatan regresi dengan model linear yang mengevaluasi tiga faktor utama: metode pembayaran, jenis pengeluaran (kebutuhan vs hiburan), dan nominal transaksi. Penelitian ini mengandalkan desain within-subject, artinya satu individu menjawab beberapa skenario berbeda—sehingga efek personal yang tak terlihat bisa dikontrol dengan baik melalui komponen tetap individu (fixed effect). Model linearnya yaitu:

Selain itu, ada model kedua yang memasukkan karakteristik personal secara eksplisit:

Model ini menggantikan efek tetap individu dengan variabel-variabel seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, tightwad–spendthrift scale, dan frekuensi mengecek saldo (notasi Xi ) . Model ini untuk mengetahui siapa saja yang cenderung merasa lebih sakit saat membayar dan apa faktor pribadi yang memperkuat atau melemahkan rasa itu.
Potret Perilaku Konsumen dalam Pembayaran
Hasil survei menunjukkan sebagian besar responden lebih memilih pembayaran contactless dengan kartu debit (57%), sementara hanya 14% yang masih menggunakan uang tunai. Hampir semua responden pernah menggunakan iDEAL (92%). Di sisi lain, hanya 27% yang memiliki pengalaman dengan pembayaran contactless lewat ponsel (rendah di kalangan lansia). Rasa sakit saat membayar meningkat seiring dengan besarnya nominal transaksi dan paling tinggi dirasakan pada pembayaran tunai serta contactless via ponsel, terutama untuk pembelian di POS (skor untuk €500 tunai = 4.1). Sebaliknya, metode contactless seperti iDEAL dinilai paling tidak menyakitkan dalam skenario daring.
Dalam hal pengendalian pengeluaran, uang tunai tetap unggul, baik dalam mencegah overspending (skor 4.2) maupun membantu melacak pengeluaran (skor 4.0). Responden juga cenderung memperhatikan jumlah uang yang dibayar saat menggunakan tunai dibanding metode lainnya. Sebanyak 72% memantau saldo melalui aplikasi bank dan mayoritas menempatkan diri mereka di tengah spektrum antara hemat dan boros (rata-rata skor 5.9). Menariknya, 20% responden melaporkan tidak merasakan pain of paying sama sekali (kelompok ini umumnya lebih mapan secara finansial).
Uang Tunai Terasa Lebih Menyakitkan!
Tabel 3. Rasa Sakit dalam Membayar Berdasarkan Metode Pembayaran, Jenis Pengeluaran, dan Jumlah yang Dibayarkan.

Hasil regresi pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari ketiga model, rasa sakit saat membayar paling tinggi terjadi saat menggunakan uang tunai (skor negatif pada metode pembayaran lain dengan uang tunai sebagai reference category pada tabel 3). Sebaliknya, metode pembayaran lain, seperti iDEAL dan contactless paling minim rasa sakitnya karena kurangnya kehadiran fisik saat uang berpindah. Uniknya, kartu kredit menunjukkan efek yang bertolak belakang. Pada model awal (kolom 1 tabel 3) yang mencakup semua responden, membayar dengan kartu kredit terasa lebih menyakitkan dibandingkan uang tunai. Namun, ketika analisis dibatasi hanya pada mereka yang benar-benar pernah menggunakan kartu kredit (kolom 2 & 3 tabel 3), rasa sakitnya justru lebih rendah. Temuan ini menyoroti betapa pentingnya pengalaman langsung menggunakan metode pembayaran dalam menentukan pengeluaran. Rasa sakit juga bergantung pada jenis pengeluaran. Ternyata, pengeluaran untuk hal menyenangkan seperti outing terasa lebih ringan dibanding belanja kebutuhan pokok. Dari sisi nominal transaksi, semakin besar nominal yang dibayar, makin menyakitkan rasa sakitnya.
Pain of Paying dalam Perspektif Demografis dan Karakteristik Individu
Terkait pain of paying, faktor demografis dan karakteristik individu membentuk persepsi dan pengalaman psikologis atas pembayaran. Tabel 4 menunjukkan bahwa rasa sakit dalam membayar tidaklah seragam. Dari faktor usia, semakin tua seseorang, sensitivitas terhadap jumlah uang yang dibayarkan cenderung menurun. Responden berusia 20–29 tahun menunjukkan lonjakan rasa sakit lebih tinggi saat membayar jumlah besar dibanding lansia (pengeluaran €500 terasa 2,1 kali lebih menyakitkan daripada €5 bagi kelompok muda, sementara pada lansia hanya 1,1 kali). Dari sisi gender, perempuan cenderung mengalami rasa sakit membayar lebih tinggi dibanding laki-laki.
Tabel 4. Korelasi Rasa Sakit dalam Membayar dengan Karakteristik Individu

Selain itu, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi rasa sakitnya dalam pembayaran. Hal ini dikarenakan mereka menyadari jumlah nominal yang mereka keluarkan dan fakta bahwa mereka sedang menghabiskan sebagian sumber daya keuangannya. Namun, semakin tinggi pendapatan, semakin rendah rasa sakit saat menggunakan pembayaran nontunai. Responden dengan penghasilan tinggi (di atas EUR 3990) secara signifikan merasakan pain of paying lebih rendah kemungkinan karena bagi mereka pengeluaran harian tidak membebani kapasitas ekonomi secara psikologis. Dari sisi karakteristik individu, yang tergolong sebagai “spender” atau konsumtif tercatat memiliki pain of payment yang lebih rendah. Artinya, intensitas berbelanja dapat mengurangi sensitivitas terhadap pengeluaran. Dari sisi tingkat literasi finansial, semakin tinggi pemahaman finansialnya maka semakin rendah pain of paying. Hal ini dikarenakan keputusan pengeluaran mereka telah melalui justifikasi rasional yang cukup sehingga rasa sakitnya tidak terlalu signifikan.
Rasa Sakit Membayar dalam Konteks Kontrol Diri: Makin Sakit, Makin Hemat??
Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin ringan rasa sakit saat menggunakan metode pembayaran, semakin sering metode ini digunakan, khususnya pada contactless payment dan iDEAL. Artinya, konsumen cenderung memilih untuk menghindari rasa sakit dalam pembayaran. Namun di balik kenyamanan itu, ada ironi. Tabel 5 mengungkap sisi lain dari pain of paying yang berfungsi sebagai pengingat akan keterbatasan diri. Semakin tinggi pain of paying yang dirasakan, semakin besar pula metode tersebut membantu mencegah overspending (koefisien 0.16). Rasa sakit membayar dari salah satu metode pembayaran membuat responden cenderung waspada dan tidak impulsif, terutama pada transaksi besar seperti €100 pada tabel 5. Efek ini juga lebih terasa pada laki-laki dan responden yang merasa mudah mencukupi kebutuhan hidupnya.
Tabel 5. Pengaruh Rasa Sakit Membayar (Contactless) dalam Mencegah Overspending

Dua temuan ini menunjukkan sebuah paradoks: kenyamanan yang ditawarkan oleh contactless payment membuatnya populer, tetapi karena terlalu nyaman metode ini dianggap kurang efektif dalam mencegah overspending.
Kesimpulan
Rasa sakit dalam membayar terbukti bervariasi dengan metode non-tunai, khususnya contactless dan iDEAL cenderung menurunkan pain of paying Namun, penurunan tersebut berdampak ganda yakni membuat transaksi terasa lebih ringan, tapi meningkatkan overspending.
Faktor demografis dan karakteristik individu membentuk sensitivitas terhadap pengeluaran. Usia muda, perempuan, pendapatan rendah, serta tingkat literasi keuangan yang rendah dikaitkan dengan pain of paying lebih tinggi.
Pembayaran untuk kebutuhan pokok umumnya terasa lebih menyakitkan dibanding pengeluaran untuk kesenangan (seperti outing), terutama pada kelompok lanjut usia dan laki-laki, berarti keterlibatan emosional terhadap barang atau jasa berpengaruh terhadap persepsi rasa sakit membayar.
Diskusi dari Sudut Pandang Penulis
Dalam perkembangan sistem ekonomi yang semakin terdigitalisasi, efisiensi menjadi fokus utama. Teknologi pembayaran seperti cashless, QRIS, dan dompet digital menawarkan kenyamanan berupa pemangkasan waktu transaksi secara drastis. Namun, dibalik kenyamanan ini, ada harga yang tidak kasat mata yakni pain of paying. Penelitian ini menguatkan konsep pain of paying (Prelec & Loewenstein, 1998) yang menyatakan bahwa rasa tidak nyaman saat membayar bisa menjadi mekanisme pengendali konsumsi atau overspending.
Di Indonesia fenomena serupa juga terjadi. Lonjakan pembayaran digital khususnya melalui QRIS menggambarkan dinamika ini secara nyata. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (2025) melaporkan bahwa volume transaksi QRIS tumbuh pesat sebesar 175,2% year on year pada 2024 dan terdapat Rp34,5 miliar transaksi pembayaran digital. Angka ini mencerminkan adopsi teknologi finansial yang luar biasa, tetapi juga membuka ruang baru untuk konsumsi yang tidak selalu rasional. Contohnya terlihat dalam kebiasaan micro-spending yang menjadi gaya hidup sehari-hari, seperti kopi, camilan, atau langganan aplikasi hiburan yang mungkin secara individu tampak kecil, namun secara kumulatif membentuk beban keuangan signifikan. Sayangnya, seperti yang tercantum dalam penelitian, dikarenakan metode cashless seperti QRIS tidak “terasa” secara fisik, pengeluaran kecil sering kali lolos dari “pencatatan” seseorang.
Lebih lanjut, muncul keresahan baru berupa beberapa pelaku usaha kini tidak lagi menerima uang tunai. Padahal secara hukum, uang tunai (Rupiah) masih menjadi alat pembayaran yang sah (UU No. 7 Tahun 2011). Selain itu, Visa Consumer Payment Attitude Study (2023) menemukan bahwa penggunaan uang tunai di Indonesia menurun menjadi 80%. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi konsumen ke sistem pembayaran yang low pain, tapi high risk dalam kontrol finansial atau overspending. Oleh karena itu, tantangan ke depannya bukan terkait menolak digitalisasi, melainkan bagaimana mendesain sistem pembayaran digital yang tidak hanya cepat, tapi juga mampu menjaga kesadaran atas nilai uang yang dikeluarkan.
Comentários