top of page
Nathania Rhae 

Beauty Pays, Literally: Understanding How Looks Affect Hiring Probability Using


Judul Artikel : Beauty pays, but not under all circumstances: Evidence on gendered hiring discrimination from a novel experimental treatment using deepfakes

Penulis : Juliane Kühn , Tobias Wolbring Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg, Nuremberg, Germany

Tahun Terbit : 2024

Jurnal : Economic Analysis and Policy

Diulas oleh : Nathania Rhae 


Pretty Privilege 

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang secara fisik menarik memiliki keuntungan lebih dalam kehidupan sosial dan ekonomi (Hamermesh, 2011; Jæger, 2011; Kukkonen et al., 2024). Mereka mendapatkan nilai yang lebih baik di sekolah (Clifford & Walster, 1973; Ritts et al., 1992), lebih mungkin diterima kerja (Dipboye et al., 1975; Lopez Boo et al., 2013), mendapatkan gaji yang lebih tinggi (Hamermesh & Biddle, 1994; Wong & Penner, 2016), dan memiliki karir yang lebih sukses (Dion et al., 1972; Nault et al., 2020) – keuntungan yang dikenal sebagai "beauty premium" atau "pretty privilege".


Namun, di sisi lain..

Berpenampilan menarik tidak selalu menguntungkan. Bukti empiris menunjukkan bahwa daya tarik fisik tak selalu berdampak positif. Justru, individu yang menarik sering kali dihukum lebih berat jika melanggar aturan atau gagal memenuhi ekspektasi sosial (Andreoni & Petrie, 2008; Wilson & Eckel, 2006; Wolbring & Riordan, 2016). Bisa jadi, "pretty privilege" berubah menjadi "beauty penalty"!


Penelitian saat ini

Penelitian ini mencoba menjelaskan dan menguji secara empiris kapan dan padakondisi apa beauty premium (keuntungan karena penampilan menarik), beauty penalty (kerugian karena penampilan menarik), atau efek netral bisa muncul. Mereka berargumen bahwa ekspektasi sosial terhadap orang yang memiliki karakteristik tertentu, seperti gender dan daya tarik fisik, sama konteks sosialnya (misalnya tempat kerja yang dibedakan gender) perlu dipertimbangkan untuk melihat bagimana efek dari penampilan fisik.


Seecara Lebih spesifik, mereka berpendapat bahwa, sesuai dengan status construction theory (teori konstruksi status) dari Ridgeway, seseorang sering kali mengategorikan orang lain berdasarkan penampilan fisiknya. Hal ini lah yang membentuk ekspektasi seseorang tentang sifat dan perilaku orang lain. Ekspektasi ini  dikenal dengan efek what-is-beautiful-is-good (apa yang cantik atau /tampan pasti bagus) – di mana penampilan fisik yang menarik dianggap sebagai penanda status sosial dan dapat memicu ekspektasi positif, seperti dianggap lebih kompeten.


Theoretical Background 


  1. Status Differences based on physical attractiveness

Dalam literatur, terdapat dokumentasi tentang adanya stereotip dan keuntungan perlakuan terkait daya tarik fisik. Fenomena ini dikenal sebagai "what-is-beautiful-is-good effect" (Dion et al., 1972), di mana orang-orang mengaitkan sifat kepribadian dan karakter positif kepada orang yang menarik berdasarkan penampilan fisik mereka.


Orang yang menarik secara fisik, misalnya, dianggap 

  • lebih menyenangkan (Langlois et al., 2000)

  • dapat dipercaya (Wilson & Eckel, 2006)

  • ramah (Miller, 1970)


Lebih lanjut, stereotip dan harapan ini dapat memengaruhi perilaku dan menyebabkan diskriminasi berbasis kecantikan. Terdapat banyak bukti bahwa individu yang menarik diperlakukan lebih baik dibandingkan dengan individu yang kurang menarik dan lebih sukses dalam kehidupan sosial.


  1. Status differences based on gender

Teori konstruksi status menekankan pentingnya gender, menggambarkannya sebagai "identitas latar belakang" (Ridgeway, 2009, hlm. 152) dan "kerangka awal" (Ridgeway, 2011, hlm. 7) untuk mengkategorikan orang dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, klasifikasi diri sendiri dan orang lain selalu dilakukan berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, karakteristik yang berkaitan dengan gender diberikan kepada pria dan wanita (Eagly & Wood, 1991) terkait dengan karakteristik agen dan komunal (Bakan, 1966).


Pria dipersepsikan memiliki karakteristik agen, seperti kemandirian, rasionalitas, dan ketegasan, sementara wanita dipersepsikan sebagai komunal, misalnya, dapat diandalkan, sopan, dan perhatian (Cheryan & Markus, 2020; Ellemers, 2018).


Persepsi stereotipikal tentang pria dan wanita ini sangat terkait dengan konsep femininitas dan maskulinitas. Kachel et al. (2016, hlm. 2) menggambarkan konstruk ini "sebagai karakteristik yang relatif langgeng yang mencakup sifat, penampilan, minat, dan perilaku yang secara tradisional dianggap lebih khas bagi wanita dan pria". Seperti yang ditunjukkan oleh Deaux dan Lewis (1984), karakteristik ini tidak independen, melainkan saling mempengaruhi. Bersama-sama, mereka membentuk persepsi gender tentang seseorang, di mana penampilan fisik memiliki pengaruh besar (Deaux & Lewis, 1984).


Lebih lanjut, daya tarik fisik "mempengaruhi asumsi tentang sejauh mana individu memiliki atribut terkait gender" (Heilman & Saruwatari, 1979, hlm. 370). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa daya tarik fisik meningkatkan persepsi maskulinitas pria dan femininitas wanita.


  1. Occupational context 

Sesuai dengan teori konstruksi status, penilaian terhadap penanda status sangat bergantung pada konteks sosial yang spesifik. Oleh karena itu, atribusi berdasarkan gender tentang konteks pekerjaan menentukan sejauh mana pria dan wanita dianggap cocok untuk pekerjaan tertentu. Ketika ada komposisi gender yang jelas dalam tenaga kerja, pekerjaan akan dianggap sebagai pekerjaan yang lebih banyak diisi oleh pria atau wanita (Reskin, 1993).


Sebaliknya, situasi di mana ada ketidakcocokan antara karakteristik pelamar dan karakteristik pekerjaan tertentu dapat menyebabkan ekspektasi kinerja yang negatif. Hal ini sejalan dengan "teori kesesuaian peran" (Eagly & Karau, 2002) dan "model kurangnya kecocokan" (Heilman, 2012).


Hypothesis

  • H1: More attractive applicants are (a) perceived as more competent and (b) more likely to be hired than less attractive applicants.

  • H2: More attractive men are more likely to be hired than less attractive men in (a) female-typed occupations and (b) male-typed occupations.

  • H3: More attractive women are more likely to be hired than less attractive women in (a) female-typed occupations but (b) not in male-typed occupations.


Sampel

Sampel dalam studi ini terdiri dari 493 responden yang direkrut melalui panel akses komersial di Jerman, khususnya melalui Norstat. Peserta ini berusia antara 30 hingga 65 tahun dan memiliki tanggung jawab personel, yang berarti mereka memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan perekrutan untuk setidaknya satu karyawan lain di dalam organisasi mereka.


Variabel Independen

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini:

  1. Bidang Pekerjaan: Pekerjaan dikategorikan sebagai pekerjaan yang didominasi laki-laki atau pekerjaan yang didominasi perempuan.

  2. Gender: Pelamar laki-laki atau perempuan.

  3. Daya Tarik Fisik: Pelamar yang lebih menarik atau kurang menarik.


Variabel Dependen 

Ini adalah hasil yang diukur untuk menentukan efek dari variabel independen. Variabel dependen dalam studi ini adalah:

  1. Probabilitas Undangan: Kemungkinan pelamar diundang untuk wawancara kerja, diukur pada skala dari 0 hingga 100%.

  2. Rekomendasi untuk Perekrutan: Kemungkinan merekomendasikan pelamar untuk direkrut, juga diukur pada skala dari 0 hingga 100%.

  3. Gaji yang Ditawarkan: Gaji awal yang akan diusulkan responden untuk pelamar, dibatasi pada rentang antara €45.000 hingga €65.000.


Metode

Penelitian ini menggunakan metode factorial survey experiment, yang sering dipakai buat mempelajari perilaku pasar tenaga kerja, termasuk efek daya tarik fisik terhadap niat merekrut karyawan. Studi ini dibuat dengan desain 2×2×2 between-subjects, yang dilaksanakan lewat survei online. Variasi dalam eksperimen ini mencakup bidang pekerjaan (yang cenderung maskulin/feminin) berdasarkan iklan lowongan kerja tertulis, dan gender pelamar (pria/wanita) serta tingkat daya tarik fisik (lebih menarik/kurang menarik) dengan bantuan video aplikasi fiktif.


Manipulasi Variabel:

Jenis pekerjaan diklasifikasikan sebagai "male-typed" (lebih sering diisi laki-laki) atau "female-typed" (lebih sering diisi perempuan) berdasarkan iklan lowongan kerja. Untuk mengubah gender dan tingkat daya tarik, teknologi deepfake digunakan dalam video aplikasi, di mana wajah pria dan wanita ditukar sambil menjaga elemen lainnya tetap sama.


Proses Survei:

Responden dalam survei ini adalah individu yang memiliki tanggung jawab di bidang personalia, memastikan bahwa mereka memiliki pengalaman dalam mengevaluasi pelamar. Setiap peserta secara acak ditempatkan ke dalam satu dari delapan kondisi eksperimen yang berbeda, yang mewakili kombinasi jenis pekerjaan, gender, dan tingkat daya tarik. Mereka kemudian diminta menilai kompetensi dan kelayakan pelamar berdasarkan video yang disajikan.


Pertimbangan Etis:

Meskipun studi ini melibatkan manipulasi video, izin etis telah diperoleh dari komite terkait. Hal ini memastikan bahwa metode eksperimen ini dapat diterima tanpa batasan tambahan, memungkinkan analisis terkontrol tentang bagaimana faktor sosial dan persepsi, seperti daya tarik dan norma gender, yang memengaruhi bias dalam proses perekrutan.


Regression Analysis 

Tabel 1: Linear regression model for invitation probability


  1. Variabel Pelamar yang Lebih Menarik:

Pada model (1) dan (2), pelamar yang lebih menarik memiliki koefisien positif yang signifikan (5.717 di model (1) dan 5.797 di model (2)) dengan p-value < 0.01. Artinya, pelamar yang lebih menarik memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk diundang (invitation probability) dibandingkan dengan pelamar yang kurang menarik, dan hasil ini signifikan pada tingkat 1%.

Pada model lainnya, pengaruh dari daya tarik pelamar tidak selalu signifikan, seperti pada model (3), (5a), dan (5b), yang menunjukkan bahwa ketika kontrol dan variabel lain seperti kompetensi dimasukkan, efek daya tarik cenderung berkurang atau bahkan tidak signifikan.


  1. Variabel Jenis Kelamin Pelamar:

Pelamar wanita memiliki koefisien negatif yang signifikan di sebagian besar model (misalnya, -5.197 di model (1) dan -5.400 di model (2)), dengan p-value < 0.1 atau 0.05. Ini menunjukkan bahwa pelamar wanita cenderung memiliki probabilitas lebih rendah untuk diundang dibandingkan dengan pelamar pria, dan hasil ini signifikan di beberapa model awal.

Namun, pengaruh ini tidak selalu signifikan di model yang lebih kompleks (seperti model (4a) dan (4b)).


  1. Indeks Kompetensi:

Pada model (4a), (4b), dan terutama (5a) dan (5b), indeks kompetensi memiliki koefisien positif yang signifikan. Di model (5a), koefisien kompetensi adalah 13.199 (p-value < 0.01), dan di model (5b), koefisiennya adalah 16.339 (p-value < 0.001). Ini menunjukkan bahwa kompetensi memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap probabilitas undangan, terutama ketika kompetensi dimasukkan sebagai variabel kontrol.


  1. Variabel Industri:

Dalam model (4a) dan (4b), di mana industri (otomotif dan home ideas & decoration) dipertimbangkan, pengaruh daya tarik dan jenis kelamin berbeda-beda. Pada industri otomotif, daya tarik pelamar berpengaruh signifikan, sedangkan dalam industri home ideas & decoration, pengaruh ini tidak selalu signifikan.


  1. Adjusted R²:

Nilai Adjusted R² meningkat secara bertahap dari model (1) hingga model (5b), menunjukkan bahwa model yang lebih kompleks (dengan lebih banyak variabel kontrol) dapat menjelaskan variasi dalam probabilitas undangan lebih baik. Model (5b) memiliki Adjusted R² tertinggi sebesar 0.519, yang menunjukkan bahwa model ini memiliki kekuatan prediktif yang lebih baik dibandingkan model yang lebih sederhana.


Kesimpulan

  • Pelamar yang lebih menarik cenderung memiliki peluang lebih besar untuk diundang dalam wawancara, terutama di model-model awal.

  • Jenis kelamin juga memiliki efek signifikan, di mana pelamar wanita cenderung memiliki probabilitas undangan yang lebih rendah dibandingkan pria, walaupun efek ini berkurang di model yang lebih kompleks.

  • Kompetensi adalah variabel penting yang secara signifikan meningkatkan peluang diundang, terutama di model yang mempertimbangkan kompetensi


Review Penulis

Penulis merasa bahwa perbedaan perlakuan yang berbasis gender dan daya tarik dalam proses rekrutmen sangat tidak adil. Diskriminasi ini terutama dirasakan oleh perempuan, dimana  pelamar perempuan memiliki probabilitas lebih rendah untuk diundang dalam wawancara dibandingkan pria, bahkan ketika daya tarik fisik dan kompetensi diperhitungkan, menunjukkan adanya bias yang sulit diabaikan.


22 views0 comments

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page