Ancaman “Kepala Babi” Bagi Demokrasi
- Reyhan Muhammad Hatta
- 18 hours ago
- 8 min read
Updated: 7 hours ago

“Jika sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya tidak bisa dikritik, maka akan mati juga ilmu pasti itu” - Tan Malaka
27 tahun pasca reformasi, hari demi hari kita terus menyaksikan bagaimana demokrasi yang dulu dibela setengah mati, kini justru mengalami dekadensi. Suara-suara yang berseberangan dengan kekuasaan maupun kepentingan elite satu per satu dibungkam, mau itu dengan jabatan ataupun ancaman. Terbaru, salah satu kantor media ternama di Indonesia, Tempo, dikirimi bangkai kepala babi serta tikus dalam dua hari berturut-turut. Bak sebuah adegan di film mafia ataupun serial kartel narkoba, teror ini diduga dilakukan sebagai bentuk ancaman terhadap Tempo, yang dikenal vokal serta kritis dalam mengulas suatu isu. Ancaman terhadap jurnalis yang terlalu berani untuk berpihak kepada kebenaran sebenarnya bukan lah lagi sebuah barang baru. Pada tahun 2023 saja, tercatat ada 89 kasus ancaman atau penyerangan terhadap jurnalis dan media—angka tertinggi sejak 2014 (Aliansi Jurnalis Independen, 2024). Alhasil, keberadaan fakta ini, ditambah dengan kasus pengiriman bangkai babi yang dialami Tempo, seharusnya menjadi alarm peringatan bagi para pemangku kepentingan, bahwa salah satu pilar demokrasi, yakni kebebasan pers, yang dahulu mereka bela mati-matian saat masih menjadi mahasiswa, kini sedang perlahan-lahan dikikis demi kepentingan segelintir orang.
Namun, alih-alih mengutuk peristiwa yang menimpa Tempo, pemerintah justru bersikap meremehkan, bahkan terkesan mempermainkan ancaman ini. Pernyataan "dimasak saja" yang dilontarkan salah satu pejabat tinggi sebagai respons atas tindakan intimidasi ini tidak bisa dianggap sekadar “bad PR”, apalagi dianggap candaan sembrono. Dianggap remehnya kasus ini menyiratkan bahwa posisi Pemerintah saat ini seakan-akan tak acuh terhadap ancaman pada kebebasan pers. Maka tidak mengherankan jika nanti kita mendengar ada kasus jurnalis yang mendapatkan kiriman bangkai-bangkai binatang lain seperti kepala Kuda laksana film The Godfather, karena Pemerintah sendiri yang seakan-akan memperbolehkan tindakan ini. Padahal, Media dan Jurnalis memiliki peran yang sangat sentral di dalam sistem demokrasi. Itu mengapa respon Pemerintah yang terkesan mentolerir kasus ini menjadi sangat disayangkan, Pasalnya, hal ini membuka peluang lebih besar bagi kasus serupa untuk terulang kembali, sehingga akan menghambat berjalannya mekanisme demokrasi.
Pentingnya Watchdogs dan Oposisi di Dalam Demokrasi
Dalam sebuah sistem demokrasi, jurnalis dan media memiliki peran penting sebagai watchdogs atau "anjing pengawas" yang bertugas memastikan bahwa pemerintah selalu merasa diawasi, sehingga mengurangi peluang bagi para pejabat untuk melakukan hal yang menyimpang dari domain tampuk jabatan mereka (Karadimitriou et al., 2022.). Hal ini dikarenakan pemerintah dapat dianalogikan sebagai sosok monster bermuka dua yang disebut Leviathan. Analogi ini pertama kali muncul dari filsuf Inggris, Thomas Hobbes, yang menyatakan bahwa sebuah negara perlu dinahkodai oleh pemerintahan dengan kekuatan sangat besar, layaknya seekor monster.
Dengan kekuatan yang mereka miliki, pemerintah dipercaya akan memiliki kapasitas untuk mengubah aturan main (rule of the game) agar dapat menjalankan peran dalam penegakan hukum, penyelesaian konflik antarmasyarakat, serta penyediaan layanan publik, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kita mempercayakan seekor monster untuk memegang kekuatan yang sangat besar, tidak ada jaminan bahwa monster ini tidak akan menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk mengkhianati dan menindas masyarakat demi kepentingan mereka sendiri (Acemoglu & Robinson, 2020).
Hal inilah yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson di dalam bukunya berjudul The Narrow Corridor: States, Society, and the Fate of Liberty sebagai the gilgamesh problem, di mana alih-alih menciptakan kesejahteraan yang lebih luas. Memperbolehkan pemerintah untuk melenggang dengan kekuatan yang begitu besar justru akan menciptakan seekor monster mengerikan yang disebut sebagai Despotic Leviathan, yakni sosok pemerintahan yang tidak pandang bulu untuk bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakatnya demi memenuhi kepentingan para elite (Acemoglu & Robinson, 2020).
Masalah ini muncul karena di dalam relasi antara masyarakat dan pemerintah, terdapat permasalahan yang dikenal sebagai asymmetric information atau kesenjangan informasi. Hal ini akan mengakibatkan interaksi yang terjadi antara publik dan pemangku kepentingan menjadi sarat akan persoalan yang di dalam ilmu ekonomi disebut sebagai principal-agent problem. Di mana rakyat (principal) yakni aktor yang memberikan kepercayaan kepada segelintir tokoh politik (agent) untuk memangku berbagai jabatan penting dalam pemerintahan—tidak dapat memverifikasi apakah figur yang mereka mandatkan benar-benar menggunakan seluruh kekuatan dan kewenangan jabatannya demi kepentingan rakyat (Core, 2017). Alhasil besar peluang untuk terjadi moral hazard, alih-alih menggunakan posisi yang mereka pegang untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, sering kali tokoh politik ini justru menyalahgunakan kursi kekuasan demi kepentingan pribadi ataupun segelintir kelompok (Core, 2017).

Atas permasalahan ini lah, menjadi sangat penting bagi sebuah masyarakat untuk dapat membatasi seberapa besar kekuatan yang dimiliki oleh sang Leviathan. Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa institusi politik yang ideal akan muncul dalam sebuah "koridor" yang sempit (“the narrow corridor”), di mana terdapat keseimbangan antara kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah. Disinilah penting nya peranan watchdogs yang dimiliki oleh media dan oposisi karena akan menghasilkan transparansi di antara masyarakat dan pemerintah. Ketika terindikasi adanya penyelewengan kekuasaan, maka masyarakat dan media dapat melakukan resistensi untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah. Alhasil sang Leviathan akan takut untuk menunjukkan sisi kebengisannya—atau dalam istilah Acemoglu dan Robinson, shackled Leviathan. Hal ini dikarenakan, keberadaan oposisi dan media akan membuat para pemangku kepentingan sadar bahwa posisi mereka akan mudah untuk digoyah oleh kekuatan masyarakat yang tak kalah besar dibandingkan mereka (Acemoglu & Robinson, 2020).
Gejala Dini Otokrasi
Namun jika kita berkaca pada kondisi negara kita sekarang, nampaknya Indonesia semakin jauh dari “koridor sempit” tersebut. Pasalnya, belakangan ini para pemangku kepentingan terlihat sangat sibuk memperluas cakupan kekuatan yang dimiliki oleh monster Leviathan. Segala bentuk upaya dilakukan oleh para elite untuk membungkam suara-suara dari seberang. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah serta aparat dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengesampingkan kasus-kasus teror yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Berdasarkan laporan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dari 89 laporan ancaman yang dialami oleh jurnalis dan media pada tahun 2023, mayoritas tidak diinvestigasi secara serius oleh aparat. Hingga saat ini, baru dua pelaku yang telah dijatuhi hukuman di persidangan, sementara sisanya masih melenggang bebas di jalan (Aliansi Jurnalis Independen, 2024).

Fakta ini, ditambah dengan respons pemerintah yang cenderung menyepelekan kasus ancaman kepala babi terhadap Tempo, menjadi contoh konkret bagaimana sistem demokrasi di Indonesia semakin hari kian tererosi. Pasalnya, pernyataan “Dimasak saja” yang dilontarkan oleh salah satu pejabat tinggi negeri mencerminkan bagaimana pemerintah telah memenuhi salah satu dari empat karakteristik pemimpin otoriter yakni “Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media”, yang dikemukakan dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Pernyataan tersebut seakan-akan mengglorifikasi tindakan ancaman terhadap jurnalis dan media, mengindikasikan ciri-ciri bangkitnya Informational Autocrats—-pemimpin otoriter yang menggunakan media sebagai senjata untuk memanipulisasi rakyatnya (Guriev & Treisman, 2019).
Bangkitnya Informational Autocrats ini juga tercermin dari terus turunnya Indeks Kemerdekaan Pers Nasional (IKP) dalam dua tahun terakhir, dari angka 77,88 pada tahun 2022 menjadi 69,36 pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa independensi media terus dicederai (Dewan Pers, 2024). Pada akhirnya, jika kita belajar dari kasus Rusia, ketika media tak lagi independen maka ruang publik untuk mengkritik para pemangku kepentingan menjadi semakin sempit. Kesenjangan informasi (assymetric information) antara masyarakat dan pemerintah akan semakin lebar, sehingga masyarakat yang awalnya kritis terhadap tindakan despotisme pemerintah akan cenderung bungkam akibat ketiadaan media independen (Guriev & Treisman, 2019)
Alhasil, sistem demokrasi yang kita lihat hari ini tidak lebih dari apa yang disebut sebagai “demokrasi prosedural”, di mana satu-satunya esensi demokrasi yang dijalankan hanya sebatas penyelenggaraan pemilu (Urbinati, 2013). Hal ini dapat dilihat dari stagnannya indeks demokrasi kita yang bahkan merosot dari peringkat 56 menjadi 59 berdasarkan laporan dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2024 lalu. Tak heran, keberadaan para elite yang terus-menerus mengubah aturan main sesuka hati demi kepentingan pribadi, semakin ditekannya hak individu untuk bebas berbicara, serta semakin dilemahkannya sistem checks and balances antara institusi pemerintahan, terus mewarnai kondisi demokrasi Indonesia belakangan ini (Economist Intelligence Unit, 2024). Kondisi ini menunjukan jika konsep demokrasi yang dulunya diagungkan, hari ini dianggap semata-mata hanya sebagai kendaraan para elite politik untuk mencapai kursi kekuasaan.
Menghadapi Ancaman Monster “Leviathan”
“What country can preserve its liberties if their rulers are not warned from time to time that their people preserve the spirit of resistance? Let them take arms.” - Thomas Jefferson
Lantas apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapi tumbuhnya kekuatan yang dimiliki oleh sang Leviathan? Kutipan Thomas Jefferson di atas sebenarnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa satu-satunya cara untuk mengontrol besarnya kekuatan sang Leviathan adalah jika kekuatan masyarakat juga ikut tumbuh dalam proporsi yang sama. Inilah yang Acemoglu dan Robinson sebut sebagai “efek Sang Putri Merah” atau The Red Queen Effect. Demi menjaga keseimbangan antara kekuatan pemerintah dan masyarakat, serta agar sistem check and balance dalam demokrasi tetap berjalan, maka kekuatan masyarakat dan pemerintah perlu tumbuh sama cepatnya. Ketika kekuatan dan kapasitas sang Leviathan tumbuh secara tidak proporsional, maka diperlukan adanya usaha kolektif dari masyarakat untuk menghasilkan resistensi terhadap pemerintah guna menandingi masifnya kekuatan sang Leviathan. Disinilah pentingnya keberadaan kebebasan pers dan ruang publik untuk mengkritisi para pembuat kebijakan. Ketika sang Leviathan mulai terlena untuk menunjukan sisi bengisnya, pemerintah perlu diingatkan bahwa akan selalu ada kekuatan dari sisi berlawanan yang dapat menggoyahkan kekuasaan mereka (Acemoglu & Robinson, 2020).

Pada akhirnya, sudah sepatutnya ketika kita melihat pemerintah mulai berani berlaku semena-mena terhadap masyarakatnya, diam tak lagi menjadi opsi. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa ketika masyarakat memilih diam dan membiarkan sang Leviathan tumbuh sangat besar hingga berani menunjukkan sisi kebengisannya, maka masyarakat akan terjebak dengan apa yang Acemoglu dan Robinson dalam bukunya yang berjudul Why Nations Fail sebut sebagai Extractive Political institution. Alih-alih menggunakan kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, para petinggi negeri justru lebih memilih menggunakan kekuatan mereka untuk memungkinkan praktik rent-seeking seperti korupsi, lobi-lobi, ataupun patronase bagi para elite guna meningkatkan kekayaan mereka tanpa kontribusi terhadap peningkatan produktivitas negara (Acemoglu & Robinson, 2012). Alhasil, pejabat publik akan terlanjur terlena dan menggunakan kekuasaannya untuk terus-menerus mengeksploitasi rakyatnya (Acemoglu & Robinson, 2020). Pada akhirnya, perekonomian akan terjebak dalam sebuah lingkaran setan (Vicious Circle) dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, karena akan lebih mudah bagi pengusaha untuk mendapatkan porsi kue perekonomian yang lebih besar melalui pengaruh politik ketimbang berinvestasi (Acemoglu & Robinson, 2012).
Lantas, yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah berteriak lebih keras dalam menghadapi kezaliman yang terpampang jelas di depan mata. Memang, jalan untuk mendapatkan “efek Sang Putri Merah” tidak begitu nyaman, sering kali monster Leviathan melakukan perlawanan ketika menghadapi gertakan dari sisi masyarakat. Namun, berkaca dari peristiwa Tiananmen di Tiongkok pada tahun 1989, ataupun Holocaust yang terjadi di Jerman pada tahun 1930-an, nampaknya wujud despotic Leviathan—sebuah figur pemerintahan yang berani bertindak semena-mena terhadap rakyatnya—masih jauh lebih mengerikan. Tentu, kebengisan pemerintahan Tiongkok di bawah Mao Zedong ataupun Jerman di bawah Hitler tak dapat dibandingkan dengan posisi pemerintahan kita sekarang. Namun, apakah perlu sampai di titik itu agar kita berani meneriakkan kebenaran?
Referensi:
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why nations fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty. Profile Books.
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2020). The narrow corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty. Penguin.
Aliansi Jurnalis Independen. (2024). Indonesia: 2023 is The Highest Number of Press Freedom Attack in a Decade. https://aji.or.id/informasi/indonesia-2023-highest-number-press-freedom-attack-decade
CORE. (2017). The Economy. Oxford University Press.
Dewan Pers. (2024, November). Indeks Kemerdekaan Pers Nasional kembali turun. https://dewanpers.or.id/berita/detail/2559/indeks-kemerdekaan-pers-nasional-kembali-turun
Economist Intelligence Unit. (2024). Democracy Index 2024: What’s Wrong With Representative Democracy?
Guriev, S., & Treisman, D. (2019). Informational autocrats. The Journal of Economic Perspectives, 33(4), 100–127. https://doi.org/10.1257/jep.33.4.100
Karadimitriou, A., Torbjörn, V. K., Ruggiero, C., Biancalana, C., Bomba, M., & Lo, W. H. (2022). Chapter 5. Investigative journalism and the watchdog role of news media: Between acute challenges and exceptional counterbalances. DIVA. https://norden.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2%3A1641181&dswid=-6310
Latza Nadeau, B. (2024, November 23). Horse’s head and pregnant cow used in ‘barbaric’ mafia threat in Sicily. CNN. https://edition.cnn.com/2024/11/23/europe/horse-head-mafia-threat-italy-intl/index.html
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Broadway Books.
Martin, J. P. (2017). Continuity or Disruption? Changing Elites and the Emergence of Cronyism after the Great Recession – the Case of Hungary. Corvinus Journal of Sociology and Social Policy, 8(3), 255–281. https://doi.org/10.14267/cjssp.2017.3s.11
Urbinati, M. P. S. a. N. (2013). Procedural democracy, the bulwark of equal liberty. Political Theory, 41(3), 441–481. https://www.jstor.org/stable/23484433
Walid Djamaludin, K. (2025). Makna kiriman kepala babi: Pesan politik yang mengancam kebebasan pers di Indonesia. The Conversation. https://theconversation.com/makna-kiriman-kepala-babi-pesan-politik-yang-mengancam-kebebasan-pers-di-indonesia-252926
Comments